Kamis, 25 Desember 2014

Hansaplast Rp. 500,00





Sebuah cerita sederhana yang membuat hati pikiran ini tergelitik jika menyaksikannya. Ini kisah nyata yang saya alami beberapa bulan lalu, tepatnya saat musim liburan setelah ujian nasional SMA. Saat liburan saya selalu menghabiskan waktu pagi untuk ikut belanja ibu kepasar. Sebenarnya cerita ini bukan tentang saya ataupun ibu saya. Cerita ini berawal saat ibu saya sedang berbelanja sayuran, dan itu berlangsung lama karena ibu saya selektif dalam memilah-milah. Dan tentu saja tawar-menawarlah yang membuat waktu terasa berjalan alot. Yah, sembari menunggu ibu, saya selalu iseng melihat-lihat ke toko lain, dan waktu itu saya duduk didepan toko seorang ibu-ibu penjual makanan yang sampai saat ini saya belum mengetahui namanya, belum sempat saya berkenalan dengannya walau saya sering sekali duduk didepan tokonya. Ya, sebut saja ibu wati sebagai nama samaran ( Kenapa wati ? Entahlah, saya suka dengan nama itu :D ). Didepan toko ibu wati berdiri sebuah toko yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Cerita ini bermula saat seorang bapak-bapak separuh baya tanpa sandal dengan pakaian yang agak lusuh itu tiba-tiba datang ke toko depan ibu wati tadi. Saya memandanginya sejak kedatangannya dari jauh hingga tepat berdiri membelakangi saya. Saya sedikit menguping percakapan bapak tua tadi dan ibu pemilik toko. Bapak tua tadi ternyata membeli sebuah hansaplast seharga Rp. 500,00 untuk menutup luka di tangannya. Saat bapak tua bertanya berapa harganya dan hendak membayarnya, ibu pemilik toko tadi berkata “Wis pak, gak usah dibayar” (dalam bahasa indonesia artinya “sudah pak, tidak usah dibayar”). Sekali lagi bapak tua itu bertanya berapa harganya, akan tetapi ibu pemilik toko masih memberi jawaban yang sama. Mungkin bapak tua sebenarnya mengetahui harga hansaplast tersebut, tapi dia bertanya untuk memastikannya. Dan untuk terakhir kalinya bapak tua bertanya dengan pertanyaan yang sama. Akan tetapi ibu pemilik toko pergi meninggalkan bapak tua karena melayani pelanggan yang lain. Mungkin karena bapak tua merasa di kasihani, bapak tua tadi dengan suara lantang mengatakan “Bu, saya kesini ingin membeli. Bukan meminta!” (sebenarnya dengan bahasa jawa, tapi sudah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia). Setelah berkata seperti itu tadi bapak tua langsung pergi dengan meninggalkan uang diatas meja yang saya sendiri tidak tahu berapa nominalnya karena tak terlihat jelas oleh mata saya. Setelah kepergian bapak tua tadi, saya terdiam untuk sejenak waktu. Saya takjub dengan perkataan bapak tua tadi, walaupun dia bukan orang kaya dan dapat dikatakan kurang mampu hingga sandal (alas kaki) pun tak terpasang di kedua kakinya, akan tetapi dia tak ingin di anggap remeh walau hanya dengan sebuah hansaplast seharga Rp. 500,00. Walaupun dia miskin, tapi dia tak ingin hidup dengan selalu pemberian orang lain. Disini saya tak menyalahkan ibu pemilik toko, mungkin dia bermaksut baik ingin membantu bapak tua. Banyak pemikiran yang tiba-tiba muncul dikepala saya waktu itu, bahwa tak semua orang miskin itu akan selalu menempatkan tangannya dibawah. Bahwa tak semua orang miskin itu selalu mengharap pemberian orang lain. Bahwa tak semua orang miskin itu dapat direndahkan. Mereka itu tak hina, mereka hanya tak seberuntung dalam hal material. Tapi bukankah hidup ini tak sekedar bicara tetang materi, akan tetapi hati. Dalam hidup ini kita yang menentukan kemana kita akan membawa hati, ke arah yang baik ataupun sebaliknya tanpa memandang miskin atau kaya. Karena hati orang miskin atau kaya sama saja. Benar bukan, jika hati orang miskin dan kaya berbeda apakah berarti hati orang miskin terbuat dari kayu, lalu hati orang kaya terbuat dari marmer. Tak seperti itu tentunya. Jadi, kemana kalian akan membawa hati? Jawabannya ada pada perbuatan kalian :).