Sebuah
cerita sederhana yang membuat hati pikiran ini tergelitik jika menyaksikannya.
Ini kisah nyata yang saya alami beberapa bulan lalu, tepatnya saat musim
liburan setelah ujian nasional SMA. Saat liburan saya selalu menghabiskan waktu
pagi untuk ikut belanja ibu kepasar. Sebenarnya cerita ini bukan tentang saya
ataupun ibu saya. Cerita ini berawal saat ibu saya sedang berbelanja sayuran,
dan itu berlangsung lama karena ibu saya selektif dalam memilah-milah. Dan
tentu saja tawar-menawarlah yang membuat waktu terasa berjalan alot. Yah,
sembari menunggu ibu, saya selalu iseng melihat-lihat ke toko lain, dan waktu
itu saya duduk didepan toko seorang ibu-ibu penjual makanan yang sampai saat
ini saya belum mengetahui namanya, belum sempat saya berkenalan dengannya walau
saya sering sekali duduk didepan tokonya. Ya, sebut saja ibu wati sebagai nama
samaran ( Kenapa wati ? Entahlah, saya suka dengan nama itu :D ). Didepan toko
ibu wati berdiri sebuah toko yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga
sehari-hari. Cerita ini bermula saat seorang bapak-bapak separuh baya tanpa
sandal dengan pakaian yang agak lusuh itu tiba-tiba datang ke toko depan ibu
wati tadi. Saya memandanginya sejak kedatangannya dari jauh hingga tepat
berdiri membelakangi saya. Saya sedikit menguping percakapan bapak tua tadi dan
ibu pemilik toko. Bapak tua tadi ternyata membeli sebuah hansaplast seharga Rp.
500,00 untuk menutup luka di tangannya. Saat bapak tua bertanya berapa harganya
dan hendak membayarnya, ibu pemilik toko tadi berkata “Wis pak, gak usah
dibayar” (dalam bahasa indonesia artinya “sudah pak, tidak usah dibayar”).
Sekali lagi bapak tua itu bertanya berapa harganya, akan tetapi ibu pemilik
toko masih memberi jawaban yang sama. Mungkin bapak tua sebenarnya mengetahui
harga hansaplast tersebut, tapi dia bertanya untuk memastikannya. Dan untuk
terakhir kalinya bapak tua bertanya dengan pertanyaan yang sama. Akan tetapi
ibu pemilik toko pergi meninggalkan bapak tua karena melayani pelanggan yang
lain. Mungkin karena bapak tua merasa di kasihani, bapak tua tadi dengan suara
lantang mengatakan “Bu, saya kesini ingin membeli. Bukan meminta!” (sebenarnya
dengan bahasa jawa, tapi sudah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia). Setelah
berkata seperti itu tadi bapak tua langsung pergi dengan meninggalkan uang
diatas meja yang saya sendiri tidak tahu berapa nominalnya karena tak terlihat
jelas oleh mata saya. Setelah kepergian bapak tua tadi, saya terdiam untuk
sejenak waktu. Saya takjub dengan perkataan bapak tua tadi, walaupun dia bukan
orang kaya dan dapat dikatakan kurang mampu hingga sandal (alas kaki) pun tak
terpasang di kedua kakinya, akan tetapi dia tak ingin di anggap remeh walau
hanya dengan sebuah hansaplast seharga Rp. 500,00. Walaupun dia miskin, tapi
dia tak ingin hidup dengan selalu pemberian orang lain. Disini saya tak
menyalahkan ibu pemilik toko, mungkin dia bermaksut baik ingin membantu bapak
tua. Banyak pemikiran yang tiba-tiba muncul dikepala saya waktu itu, bahwa tak
semua orang miskin itu akan selalu menempatkan tangannya dibawah. Bahwa tak
semua orang miskin itu selalu mengharap pemberian orang lain. Bahwa tak semua
orang miskin itu dapat direndahkan. Mereka itu tak hina, mereka hanya tak
seberuntung dalam hal material. Tapi bukankah hidup ini tak sekedar bicara
tetang materi, akan tetapi hati. Dalam hidup ini kita yang menentukan kemana
kita akan membawa hati, ke arah yang baik ataupun sebaliknya tanpa memandang
miskin atau kaya. Karena hati orang miskin atau kaya sama saja. Benar bukan,
jika hati orang miskin dan kaya berbeda apakah berarti hati orang miskin
terbuat dari kayu, lalu hati orang kaya terbuat dari marmer. Tak seperti itu
tentunya. Jadi, kemana kalian akan membawa hati? Jawabannya ada pada perbuatan
kalian :).